Sunday, 12 October 2025
13:43 PM
MMUNOL.COM – Secara umum, Undang-Undang (UU) Cipta Kerja tetap menetapkan tanggung jawab perusahaan perkebunan untuk membantu pengembangan kebun masyarakat (plasma) sebesar 20%, namun dengan cara yang berbeda dalam pelaksanaannya.
UU Cipta Kerja (melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu No. 2 Tahun 2022) telah merevisi UU No. 39 Tahun 2014 yang berkaitan dengan Perkebunan. Akibat dari perubahan ini, kewajiban 20% yang sebelumnya diinterpretasikan harus berupa tanah kebun, kini dapat dipenuhi melalui skema kemitraan yang lebih beragam.
KLIK LINK BERITA : https://mmunol.com
Dan untuk saat ini, perubahan skema kewajiban plasma sebelum UU Cipta Kerja dikeluarkan di mana merujuk UU No. 39 Tahun 2014, di mana perusahaan perkebunan diharuskan untuk mendukung pembangunan kebun masyarakat yang berada di sekitar lokasi mereka setidaknya 20% dari total luas area kebun yang dikelola.
Namun yang dipahami selama ini adalah kewajiban tersebut harus dilaksanakan dengan menyediakan tanah kebun plasma fisik di luar Hak Guna Usaha (HGU) milik perusahaan. dan bahkan tidak ada dilaksanakan oleh pihak perusahaan.
BACA JUGA : Pemdes Sari Bulan Bagikan BLT Kepada 24 Orang Penerima KPM
Sementara yang menjadi sorotan juga di mana setelah UU Cipta Kerja: yang mana tidak menghapus kewajiban 20% tersebut, tetapi memperluas opsi untuk pemenuhannya melalui berbagai bentuk kemitraan. Peraturan pelaksana UU Cipta Kerja (seperti yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian) menyatakan bahwa pembangunan kebun masyarakat bisa dilakukan dengan cara yang lebih fleksibel, tidak harus selalu berupa penyerahan lahan.
Bentuk kemitraan yang bisa diterapkan, antara lain, termasuk pemberian bibit, bimbingan teknis, pembangunan infrastruktur, serta pola kerjasama lain yang telah disepakati antara perusahaan dan masyarakat.
TONTON JUGA OFFICIAL YOUTUBE CHANNEL MMUNOL : https://www.youtube.com/@mmunol
Implementasi dan dampak
Perusahaan perkebunan: Sekarang, perusahaan memiliki lebih banyak pilihan untuk memenuhi tanggung jawab plasma, sehingga tidak selalu tertekan untuk menyediakan tanah fisik. Perusahaan bisa mengajukan Hak Guna Usaha baru atau perpanjangan dengan rencana kemitraan yang beragam.
Petani dan masyarakat: Perubahan ini memicu berbagai reaksi. Beberapa orang beranggapan bahwa skema kemitraan tanpa lahan berisiko merugikan masyarakat karena pendapatan yang didapat bisa menjadi tidak stabil atau tidak sebesar jika mereka memiliki kebun mereka sendiri.
Pemerintah: Kementerian terkait terus berusaha memastikan bahwa kewajiban plasma tetap berjalan secara efektif. Di awal tahun 2025, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN bahkan menegaskan kembali kewajiban 20% plasma bagi perusahaan kelapa sawit yang mengajukan perpanjangan HGU.
Secara keseluruhan, UU Cipta Kerja tidak menghilangkan kewajiban, tetapi mengubah cara pemenuhan kewajiban plasma 20% dari perusahaan perkebunan, dari yang dulunya harus berupa lahan kini bisa melalui skema kemitraan.
Nmaun akhir akhir ini yang timbul adalah adanya frasa “plasma 20 persen hanya kebohongan” berasal dari kekecewaan masyarakat yang disebabkan oleh banyaknya kasus di mana kewajiban perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk menyediakan 20% lahan bagi petani plasma tidak terlaksana. Pernyataan ini tidak bisa dianggap sebagai kebohongan sepenuhnya, karena kewajiban tersebut sudah diatur dalam undang-undang pemerintah dan beberapa perusahaan telah mematuhi aturan ini. Meski begitu, banyaknya kasus ketidakberhasilan dalam pelaksanaan telah menimbulkan keraguan di masyarakat.
Untuk mengetahui lebih dalam algi terkait mengapa plasma 20% sering kali tidak terwujud, ada beberapa sebab yang menyebabkan isu ini, yang mengakibatkan kekecewaan dan konflik dengan masyarakat salah satunya adalah adanya perbedaan interpretasi peraturan: Peraturan yang ada kadang bersifat ambigu dan kurang t.erperinci, sehingga perusahaan dan masyarakat memiliki pandangan yang berbeda tentang tanggung jawab plasma.
Selanjutnya adanya masalah administratif yaitu sering terjadi kesulitan dalam proses mendapatkan sertifikasi Hak Guna Usaha (HGU), pembebasan lahan, dan pengalokasian lahan yang jelas. selain itu adanya skema kemitraan yang diterapkan justru merugikan petani plasma, seperti pembagian hasil yang tidak seimbang atau manajemen yang tidak transparan. dan juga pengawasan yang lemah di mana sering kali pemerintah daerah tidak memiliki otoritas atau cara yang efektif untuk mengawasi agar perusahaan melaksanakan komitmennya.
Dan yang lebih meresahkan lagi di mana pihak perusahan melakukan manipulasi dengan sengaja menunda, mengabaikan, atau bahkan mengalihkan tanggung jawab plasma mereka. terakhir adanya kondisi lahan yang ditetapkan sebagai plasma tidak subur atau terletak di tempat yang sulit dijangkau, sehingga hasilnya menjadi tidak produktif.
Akibat dari kegagalan pelaksanaan plasma , ketegangan sosial sering meningkat, mengakibatkan konflik antara komunitas dan perusahaan. Ini tidak hanya merugikan masyarakat secara finansial, tetapi juga dapat memicu tindakan anarkis dan perusakan infrastruktur, seperti yang pernah terjadi di Kalimantan Tengah. (red)
Posted in Hukum
This is tab content. Click to edit this text. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.